Kamis, 10 Desember 2009

Asiyah, Wanita yang Ditampakkan Surga Untuknya


Penulis: Ummu Uwais Herlani Clara Sidi Pratiwi
Muraja’ah: ustadz Abu Ukkasyah Aris Munandar
Wanita, sosok lemah dan tak berdaya yang terbayangkan. Dengan lemahnya fisik, Allah tidak membebankan tanggung jawab nafkah di pundak wanita, memberi banyak keringanan dalam ibadah dan perkara lainnya. Mereka adalah sosok yang mudah mengeluh dan tidak tahan dengan beban yang menghimpitnya. Dengan kebengkokannya sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersikap lembut dan banyak mewasiatkan agar bersikap baik kepadanya.  Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya jika Allah Tabaroka wa Ta’ala dengan segala hikmah-Nya mengamanahkan kaum wanita kepada kaum laki-laki.

Namun, kelemahan itu tak harus melunturkan keteguhan iman. Sebagaimana keteguhan salah seorang putri, istri dari seorang suami yang menjadi musuh Allah Rabb alam semesta. Seorang suami yang angkuh atas kekuasaan yang ada di tangannya, yang dusta lagi kufur kepada Rabbnya. Putri yang akhirnya harus disiksa oleh tangan suaminya sendiri, yang disiksa karena keimanannya kepada Allah Dzat Yang Maha Tinggi. Dialah Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun.
Ketika mengetahui keimanan istrinya kepada Allah, maka murkalah Fir’aun. Dengan keimanan dan keteguhan hati, wanita shalihah tersebut tidak goyah pendiriaannya, meski mendapat ancaman dan siksaan dari suaminya.
Kemudian keluarlah sang suami yang dzalim ini kepada kaumnya dan berkata pada mereka, “Apa yang kalian ketahui tentang Asiyah binti Muzahaim?” Mereka menyanjungnya.Lalu Fir’aun berkata lagi kepada mereka,“Sesungguhnya dia menyembah Tuhan selainku.” Berkatalah mereka kepadanya,“Bunuhlah dia!”
Alangkah beratnya ujian wanita ini, disiksa oleh suaminya sendiri.
Dimulailah siksaan itu, Fir’aun pun memerintahkan para algojonya untuk memasang tonggak. Diikatlah kedua tangan dan kaki Asiyah pada tonggak tersebut, kemudian dibawanya wanita tersebut di bawah sengatan terik matahari. Belum cukup sampai disitu siksaan yang ditimpakan suaminya. Kedua tangan dan kaki Asiyah dipaku dan di atas punggungnya diletakkan batu yang besar. Subhanallah…saudariku, mampukah kita menghadapi siksaan semacam itu? Siksaan yang lebih layak ditimpakan kepada seorang laki-laki yang lebih kuat secara fisik dan bukan ditimpakan atas diri wanita yang bertubuh lemah tak berdaya. Siksaan yang apabila ditimpakan atas wanita sekarang, mugkin akan lebih memilih menyerah daripada mengalami siksaan semacam itu.
Namun, akankah siksaan itu menggeser keteguhan hati Asiyah walau sekejap? Sungguh siksaan itu tak sedikitpun mampu menggeser keimanan wanita mulia itu. Akan tetapi, siksaan-siksaan itu justru semakin menguatkan keimanannya.
Iman yang berangkat dari hati yang tulus, apapun yang menimpanya tidak sebanding dengan harapan atas apa yang dijanjikan di sisi Allah Tabaroka wa Ta’ala. Maka Allah pun tidak menyia-nyiakan keteguhan iman wanita ini. Ketika Fir’aun dan algojonya meninggalkan Asiyah, para malaikat pun datang menaunginya.
Di tengah beratnya siksaan yang menimpanya, wanita mulia ini senantiasa berdo’a memohon untuk dibuatkan rumah di surga. Allah mengabulkan doa Asiyah, maka disingkaplah hijab dan ia melihat rumahnya yang dibangun di dalam surga. Diabadikanlah doa wanita mulia ini di dalam al-Qur’an,
“Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkan aku dari kaum yang dzalim.” (Qs. At-Tahrim:11)
Ketika melihat rumahnya di surga dibangun, maka berbahagialah wanita mulia ini. Semakin hari semakin kuat kerinduan hatinya untuk memasukinya. Ia tak peduli lagi dengan siksaan Fir’aun dan algojonya. Ia malah tersenyum gembira yang membuat Fir’aun bingung dan terheran-heran. Bagaimana mungkin orang yang disiksa akan tetapi malah tertawa riang? Sungguh terasa aneh semua itu baginya. Jika seandainya apa yang dilihat wanita ini ditampakkan juga padanya, maka kekuasaan dan kerajaannya tidak ada apa-apanya.
Maka tibalah saat-saat terakhir di dunia. Allah mencabut jiwa suci wanita shalihah ini dan menaikkannya menuju rahmat dan keridhaan-Nya. Berakhir sudah penderitaan dan siksaan dunia, siksaan dari suami yang tak berperikemanusiaan.
Saudariku..tidakkah kita iri dengan kedudukan wanita mulia ini? Apakah kita tidak menginginkan kedudukan itu? Kedudukan tertinggi di sisi Allah Yang Maha Tinggi. Akan tetapi adakah kita telah berbuat amal untuk meraih kemuliaan itu? Kemuliaan yang hanya bisa diraih dengan amal shalih dan pengorbanan. Tidak ada kemuliaan diraih dengan memanjakan diri dan kemewahan.
Saudariku..tidakkah kita menjadikan Asiyah sebagai teladan hidup kita untuk meraih kemuliaan itu? Apakah kita tidak malu dengannya, dimana dia seorang istri raja, gemerlap dunia mampu diraihnya, istana dan segala kemewahannya dapat dengan mudah dinikmatinya. Namun, apa yang dipilihnya? Ia lebih memilih disiksa dan menderita karena keteguhan hati dan keimanannya. Ia lebih memilih kemuliaan di sisi Allah, bukan di sisi manusia. Jangan sampailah dunia yang tak seberapa ini melenakan kita. Melenakan kita untuk meraih janji Allah Ta’ala, surga dan kenikmatannya.
Saudariku…jangan sampai karena alasan kondisi kita mengorbankan keimanan kita, mengorbankan aqidah kita. Marilah kita teladani Asiyah binti Muzahim dalam mempertahankan iman. Jangan sampai bujuk rayu setan dan bala tentaranya menggoyahkan keyakinana kita. Janganlah penilaian manusia dijadikan ukuran, tapi jadikan penilaian Allah sebagai tujuan. Apapun keadaan yang menghimpit kita, seberat apapun situasinya, hendaknya ridha Allah lebih utama. Mudah-mudahan Allah mengaruniakan surga tertinggi yang penuh kenikmatan.
Maraaji’:
14 Wanita Mulia dalam sejarah Islam (terjemahan dari Nisa’ Lahunna Mawaqif) karya Azhari Ahmad Mahmud
***

Dipotong Tangan Karena Memberi Sedekah


menghormatiku, maka sesungguhnya dia telah memuliakan Allah S.W.T. Dan barangsiapa telah menjadi kemarahan tetamu, dia telah menjadi kemarahanku. Dan barangsiapa menjadikan kemarahanku, sesungguhnya dia telah menjadikan murka Allah S.W.T."

Sabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud, "Sesungguhnya tetamu itu Dikisahkan bahwa semasa berlakunya kekurangan makanan dalam kalangan Bani Israel, maka lalulah seorang fakir menghampiri rumah seorang kaya dengan berkata, "Sedekahlah kamu kepadaku dengan sepotong roti dengan ikhlas kerana Allah S.W.T."
Setelah fakir miskin itu berkata demikian maka keluarlah anak gadis orang kaya, lalau memberikan roti yang masih panas kepadanya. Sebaik sahaja gadis itu memberikan roti tersebut maka keluarlah bapa gadis tersebut yang bakhil itu terus memotong tangan kanan anak gadisnya sehingga putus. Semenjak dari peristiwa itu maka Allah S.W.T pun mengubah kehidupan orang kaya itu dengan menarik kembali harta kekayaannya sehingga dia menjadi seorang yang fakir miskin dan akhirnya dia meninggal dunia dalam keadaan yang paling hina.

Anak gadis itu menjadi pengemis dan meminta-minta dari satu rumah ke rumah. Maka pada suatu hari anak gadis itu menghampiri rumah seorang kaya sambil meminta sedekah, maka keluarlah seorang ibu dari rumah tersebut. Ibu tersebut sangat kagum dengan kecantikannya dan mempelawa anak gadis itu masuk ke rumahnya. Ibu itu sangat tertarik dengan gadis tersebut dan dia berhajat untuk mengahwinkan anaknya dengan gadis tersebut. Maka setelah perkahwinan itu selesai, maka si ibu itu pun memberikan pakaian dan perhiasan bagi menggantikan pakaiannya.

Pada suatu malam apabila sudah dihidang makanan malam, maka si suami hendak makan bersamanya. Oleh kerana anak gadis itu kudung tangannya dan suaminya juga tidak tahu bahawa dia itu kudung, manakala ibunya juga telah merahsiakan tentang tangan gadis tersebut. Maka apabila suaminya menyuruh dia makan, lalu dia makan dengan tangan kiri. Apabial suaminya melihat keadaan isterinya itu dia pun berkata, "Aku mendapat tahu bahawa orang fakir tidak tahu dalam tatacara harian, oleh itu makanlah dengan tangan kanan dan bukan dengan tangan kiri."

Setelah si suami berkata demikian, maka isterinya itu tetap makan dengan tangan kiri, walaupun suaminya berulang kali memberitahunya. Dengan tiba-tiba terdengar suara dari sebelah pintu, "Keluarkanlah tangan kananmu itu wahai hamba Allah, sesungguhnya kamu telah mendermakan sepotong roti dengan ikhlas kerana Ku, maka tidak ada halangan bagi-Ku memberikan kembali akan tangan kananmu itu."
Setelah gadis itu mendengar suara tersebut, maka dia pun mengeluarkan tangan kanannya, dan dia mendapati tangan kanannya berada dalam keadaan asalnya, dan dia pun makan bersama suaminya dengan menggunakan tangan kanan. Hendaklah kita sentiasa menghormati tetamu kita, walaupun dia fakir miskin apabila dia telah datang ke rumah kita maka sesungguhnya dia adalah tetamu kita. Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud, "Barangsiapa menghormati tetamu, maka sesungguhnya dia telah menghormatiku, dan barangsiapa apabila dia datang ke rumah seseorang mukmin itu, maka dia masuk bersama dengan seribu berkah dan seribu rahmat."


http://www.dongengkakrico.com/index.php?view=article&catid=40%3Akumpulan-kisahcerita-teladan-a-islami&id=153%3Adipotong-tangan-karena-memberi-sedekah&option=com_content&Itemid=66







*Kisah Pemudi Yahudi Yang Memeluk Islam*






Wahai saudara-saudaraku! Agama ini meru-pakan sebuah agama yang agung. Jika ada seseorang yang mendakwahkannya dengan lurus dan benar maka jiwa yang suci pasti akan menerimanya, walau apapun agama yang sedang ia anut atau dari bangsa manapun ia berasal. Dalam kisah ini, penulis kisah yang telah kami pilihkan untuk kalian dari jaringan internet berkata, teman wanita pemudi itu berkata, "Aku melihat wajahnya berseri-seri di dalam sebuah masjid yang terletak di pusat kota kecil di Amerika, sedang membaca al-Qur'an yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Aku ucapkan salam kepadanya dan ia membalasnya dengan iringan senyum. Kami pun membuka obrolan dan dalam waktu singkat kami menjadi dua orang sahabat yang sangat akrab.

Pada suatu malam, kami bertemu di tepi sebuah danau nan indah. Di sanalah ia menceritakan kisah keislamannya. Mari kita simak kisah tersebut.

Ia berkata, "Aku hidup dalam rumah tangga Ame-rika penganut agama Yahudi yang berantakan. Setelah ayah dan ibuku bercerai, ayahku menikah dengan wa-nita lain. Ibu tiriku ini sering menyiksaku. Pada usia 17 tahun aku lari dari rumah dan pergi dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Di sana aku bertemu dengan seorang pemudi Arab mereka (sebagaimana yang ia ceritakan) adalah teman tempat pelarianku yang sangat baik. Mereka semua tersenyum padaku kemudian kami menyantap hidangan makan malam. Akupun ikut melakukan seperti apa yang mereka lakukan. Setelah menyantap hidangan, aku lang-sung kabur, karena aku tidak suka persahabatan seperti ini. Ditambah lagi aku tidak menyukai bangsa Arab.

Hidupku yang sengsara tak pernah merasa tenang, selalu dirundung kegelisahan. Aku mulai mendalami agama dengan tujuan ingin mendapatkan ketenangan rohani dan kekuatan moril dalam menjalani kehidup-an. Namun semua itu tidak aku dapati dalam agama Yahudi. Ternyata agama ini hanya menghormati kaum wanita namun tidak menghormati hak asasi manusia dan sangat egois. Setiap mengajukan suatu pertanyaan aku tidak mendapatkan jawaban. Lalu aku berpindah ke agama Nasrani. Ternyata dalam agama ini banyak pertentangan yang sulit diterima akal dan hanya me-nuntut kita agar menerimanya. Berkali-kali aku tanya-kan bagaimana mungkin Tuhan membunuh anakNya? Bagaimana cara ia melahirkan? Bagaimana mungkin kita mempunyai tiga Tuhan sementara satu pun tidak ada yang dapat kita lihat? Lalu aku bertekad untuk meninggalkan semua itu. Namun aku yakin bahwa alam ini pasti ada yang menciptakan. Setiap malam aku selalu berpikir dan berpikir hingga pagi menjelang.

Pada suatu malam tepatnya ketika menjelang pagi, terbersit keinginan untuk bunuh diri untuk meng-akhiri kegalauan ini. Aku berada di dalam ruangan yang tak bermakna. Hujan yang deras, gulungan awan yang tebal seakan memenjarakanku. Apa yang ada di sekitarku seolah ingin membunuhku. Pepohonan me-mandangku dengan pandangan sinis, siraman air hujan mengalunkan irama kebencian. Kupandang dari balik jendela, di dalam sebuah rumah terpencil. Aku merasa diriku rendah di hadapan Allah.
Ya Tuhanku! Aku tahu Kau ada di sana. Aku tahu Kau menyayangi-ku. Aku seorang terpenjara, hambaMu yang lemah, Tunjukilah jalan yang harus kutempuh, Ya Tuhanku! berilah aku petunjuk! Atau cabut saja nyawaku. Aku menangis tersedu-sedu hingga tertidur.

Pada pagi hari aku bangun dengan ketenangan hati yang belum pernah aku rasakan. Seperti biasa aku keluar mencari rizki dengan harapan semoga ada yang mau memberiku sarapan, atau mengambil upah dengan mencuci piringnya. Di sanalah aku bertemu dengan se-orang pemuda Arab kemudian aku berbincang-bincang dengannya cukup lama. Setelah sarapan, ia memintaku untuk datang ke rumahnya dan tinggal bersamanya, lalu aku pun ikut dengannya. Ketika kami sedang menyantap makan pagi, minum dan bercanda, tiba-tiba muncul seorang pemuda berjenggot yang ber-nama Sa'ad. Nama tersebut aku ketahui dari temanku yang sambil terkejut menyebut nama pemuda itu. Pemuda itu menarik tangan temanku dan menyuruh-nya keluar. Tinggallah aku sendirian duduk gemetar. Apakah aku sedang berhadapan dengan seorang te-roris? Tetapi ia tidak melakukan sesuatu yang mena-kutkan, bahkan ia memintaku dengan lemah lembut agar aku kembali ke rumahku. Lalu aku katakan kepa-danya bahwa aku tidak punya rumah. Ia meman-dangku dengan perasaan terharu.

Kesan ini dapat aku tangkap dari mimik wajah-nya. Kemudian ia berkata, 'Baiklah, kalau begitu ting-gallah di sini malam ini, karena di luar cuaca teramat dingin dan pergilah besok. Kemudian ambil uang ini semoga bermanfaat sebelum kamu mendapat peker-jaan.' Ketika ia hendak pergi aku menghadangnya lalu aku ucapkan terima kasih. Aku katakan, 'Tetaplah di sini dan aku yang akan keluar, namun aku harap eng-kau menceritakan apa yang mendorongmu melakukan ini terhadap aku dan temanmu. Ia lalu duduk dan mulai bercerita kepadaku sementara matanya meman-dang ke bawah. Katanya, 'Sebenarnya yang mendo-rongku berbuat seperti itu karena agama Islam mela-rang melakukan segala yang haram, seperti berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahram dan me-minum khamar. Islam juga mendorong untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan menganjurkan untuk berakhlak mulia.' Aku merasa heran, apakah mereka ini yang disebut teroris? Tadinya aku mengira mereka selalu membawa pistol dan membunuh siapa saja yang mereka jumpai. Demikian yang aku dapatkan dari media massa Amerika.

Aku katakan, 'Aku ingin mengenal Islam lebih dalam, dapatkah engkau memberitahukannya kepada-ku?' Ia berkata, "Aku akan bawa kamu ke sebuah keluarga muslim yang taat dan kamu dapat tinggal di sana. Aku tahu mereka akan mengajarkan sebaik-baik pengajaran kepadamu." Kemudian pemuda itu mem-bawaku pergi. Pada jam 10 aku sudah berada di rumah tersebut dan mendapat sambutan hangat. Lalu aku mengajukan beberapa pertanyaan sedang Dr. Sulaiman sebagai kepala rumah tangga menjawab pertanyaan tersebut sampai aku merasa puas. Aku merasa puas karena aku telah mendapatkan jawaban pertanyaan yang selama ini aku cari. Yaitu agama yang terang dan jelas yang sesuai dengan fitrah manusia. Aku tidak mengalami kesulitan dalam memahami setiap apa yang aku dengar. Semuanya merupakan kebenaran. Ketika mengumumkan keislamanku, aku merasa ada-nya sebuah kebangkitan yang tiada tara.

Pada hari kebangkitanku itu atas kesadaranku sendiri aku langsung memakai cadar. Tepat jam 1 siang Sayyidah (Nyonya Sulaiman) membawaku ke sebuah kamar yang terbaik di rumah itu. Ia berkata, 'Ini kamarmu, tinggallah di sini sesuka hatimu.' Ia melihatku tengah memandang ke luar jendela. Aku tersenyum sementara air mata berlinang membasahi pipiku. Ia bertanya mengapa aku menangis. Aku ja-wab, 'Kemarin pada waktu yang sama aku berdiri di balik jendela merendahkan diri kepada Allah.'

Aku berdo'a, 'Ya Tuhanku! Tunjukilah aku jalan kebenaran, atau cabut saja nyawaku.' Sungguh Allah telah menunjukiku dan memuliakanku. Sekarang aku adalah seorang muslimah bercadar dan terhormat. Ini-lah jalan yang aku cari, inilah jalan yang aku cari. Sayyidah memelukku dan ikut menangis bersamaku'."

(SUMBER: SERIAL KISAH-KISAH TELADAN KARYA Muhammad Shalih al-Qahthani. Penerbit DARUL HAQ, TELP.021-4701616)





KISAH SI PEMALAS DENGAN ABU HANIFAH


KISAH SI PEMALAS DENGAN ABU HANIFAH
 
 
Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Keluhannya mengandungi kata-kata, "Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi lagi belum datang sesuap nasi atau makanan pun di kerongkongku sehingga seluruh badanku menjadi lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas ikhsan yang sudi memberi curahan air walaupun setitik."

Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah berasa kasihan lalu beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada orang itu. Setelah sampai kembali ke rumah orang itu, dia terus melemparkan bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya. 

Dalam pada itu, si malang berasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang tidak diketahui dari mana datangnya, lantas beliau tergesa-gesa membukanya. Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi uang dan secebis kertas yang bertulis, " Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu tidak pernah atau perlu mengeluh diperuntungkan nasibmu. Ingatlah kepada kemurahan Allah dan cubalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus."

Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi rumah itu dan suara keluhan itu kedengaran lagi, "Ya Allah Tuhan Yang Maha Belas Kasihan dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekadar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak beri, akan lebih sengsaralah hidupku, wahai untung nasibku."

Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secebis kertas dari luar jendela itu, lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu terlalu riang sebaik sahaja mendapat bungkusan itu. Lantas terus membukanya.

Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada cebisan kertas lalu dibacanya, "Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian 'malas' namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak redha Tuhan melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan
jangan berbuat demikian. Hendak senang mesti suka pada bekerja dan berusaha kerana kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak perlu atau disuruh duduk diam tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah SWT tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah SWT tidak akan mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah railah segera pekerjaan, saya doakan lekas berjaya."

Sebaik sahaja dia selesai membaca surat itu, dia termenung, dia insaf dan sedar akan kemalasannya yang selama ini dia tidak suka berikhtiar dan berusaha.

Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya untuk mencari pekerjaan. Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah mengikut peraturan-peraturan hidup (Sunnah Tuhan) dan tidak lagi melupai nasihat orang yang memberikan nasihat itu.
Dalam Islam tiada istilah pengangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajar kita untuk maju ke hadapan dan bukan mengajar kita tersadai di tepi jalan.

http://melasayang.4t.com/KisahPemalas.htm







Minggu, 01 November 2009



Get ISLAMIC-Graphics



KISAH WALI ALLAH YANG SOLAT DI ATAS AIR  
Sebuah kapal yang sarat dengan muatan dan bersama 200 orang temasuk ahli perniagaan berlepas dari sebuah pelabuhan di Mesir. Apabila kapal itu berada di tengah lautan maka datanglah ribut petir dengan ombak yang kuat membuat kapal itu terumbang-ambing dan hampir tenggelam. Berbagai usaha dibuat untuk mengelakkan kapal itu dipukul ombak ribut, namun semua usaha mereka sia-sia sahaja. Kesemua orang yang berada di atas kapal itu sangat cemas dan menunggu apa yang akan terjadi pada kapal dan diri mereka.

Ketika semua orang berada dalam keadaan cemas, terdapat seorang lelaki yang sedikitpun tidak merasa cemas. Dia kelihatan tenang sambil berzikir kepada Allah S.W.T. Kemudian lelaki itu turun dari kapal yang sedang terunbang-ambing dan berjalanlah dia di atas air dan mengerjakan solat di atas air.

Beberapa orang peniaga yang bersama-sama dia dalam kapal itu melihat lelaki yang berjalan di atas air dan dia berkata, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Janganlah tinggalkan kami!" Lelaki itu tidak memandang ke arah orang yang memanggilnya. Para peniaga itu memanggil lagi, "Wahai wali Allah, tolonglah kami. Jangan tinggalkan kami!"

Kemudian lelaki itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya dengan berkata, "Apa hal?" Seolah-olah lelaki itu tidak mengetahui apa-apa. Peniaga itu berkata, "Wahai wali Allah, tidakkah kamu hendak mengambil berat tentang kapal yang hampir tenggelam ini?"

Wali itu berkata, "Dekatkan dirimu kepada Allah."

Para penumpang itu berkata, "Apa yang mesti kami buat?"

Wali Allah itu berkata, "Tinggalkan semua hartamu, jiwamu akan selamat."

Kesemua mereka sanggup meninggalkan harta mereka. Asalkan jiwa mereka selamat. Kemudian mereka berkata, "Wahai wali Allah, kami akan membuang semua harta kami asalkan jiwa kami semua selamat."

Wali Allah itu berkata lagi, "Turunlah kamu semua ke atas air dengan membaca Bismillah."

Dengan membaca Bismillah, maka turunlah seorang demi seorang ke atas air dan berjalan meng hampiri wali Allah yang sedang duduk di atas air sambil berzikir. Tidak berapa lama kemudian, kapal yang mengandungi muatan beratus ribu ringgit itu pun tenggelam ke dasar laut.

Habislah kesemua barang-barang perniagaan yang mahal-mahal terbenam ke laut. Para penumpang tidak tahu apa yang hendak dibuat, mereka berdiri di atas air sambil melihat kapal yang tenggelam itu.

Salah seorang daripada peniaga itu berkata lagi, "Siapakah kamu wahai wali Allah?"

Wali Allah itu berkata, "Saya adalah Awais Al-Qarni."

Peniaga itu berkata lagi, "Wahai wali Allah, sesungguhnya di dalam kapal yang tenggelam itu terdapat harta fakir-miskin Madinah yang dihantar oleh seorang jutawan Mesir."

WaliAllah berkata, "Sekiranya Allah kembalikan semua harta kamu, adakah kamu betul-betul akan membahagikannya kepada orang-orang miskin di Madinah?"

Peniaga itu berkata, "Betul, saya tidak akan menipu, ya wali Allah."

Setelah wali itu mendengar pengakuan dari peniaga itu, maka dia pun mengerjakan solat dua rakaat di atas air, kemudian dia memohon kepada Allah S.W.T agar kapal itu ditimbulkan semula bersama-sama hartanya.

Tidak berapa lama kemudian, kapal itu timbul sedikit demi sedikit sehingga terapung di atas air. Kesemua barang perniagaan dan lain-lain tetap seperti asal. Tiada yang kurang.

Setelah itu dinaikkan kesemua penumpang ke atas kapal itu dan meneruskan pelayaran ke tempat yang dituju. Apabila sampai di Madinah, peniaga yang berjanji dengan wali Allah itu terus menunaikan janjinya dengan membahagi-bahagikan harta kepada semua fakir miskin di Madinah sehingga tiada seorang pun yang tertinggal. Wallahu a'alam.


http://melasayang.4t.com/KisahWaliAllah.htm

Template by:
Free Blog Templates